Teori Tentang Bentuk Negara, Pemerintahan Dan Sistem Pemerintahan
Bentuk Negara
Berdasarkan
teori-teori modern, bentuk negara yang terpenting adalah negara kesatuan dan
negara serikat.
·
Negara kesatuan adalah suatu negara yang merdeka dan berdaulat
di mana di seluruh negara yang berkuasa hanya satu pemerintah (pusat) yang
mengatur seluruh daerah. Pemerintah pusat berkuasa mengatur seluruh daerah
secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara yang
menggabungkan diri sedemikian rupa sehingga menjadi suatu negara.
Negara kesatuan dapat
berbentuk sebagai berikut.
1.
Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, di mana segala
sesuatu dalam negara itu langsung, diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, dan
daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
2.
Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, di mana kepala
daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya
sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra.
·
Negara serikat (Federasi) adalah suatu negara yang merupakan
gabungan dari beberapa negara yang meredeka dan berdaulat serta berdiri
sendiri. Dengan menggabungkan diri dengan negara serikat, berarti suatu negara
melepaskan sebagaian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara
serikat tersebut. Kekuasaan yang diserahkan itu disebutkan satu demi satu
(limiatif) dan merupakan kekuasaan yang didelegasikan.
Kekuasaan asli ada pada negara bagian karena
negara bagian itu berhubungan langsung dengan rakyatnya. Penyerahan
kekuasaannya kepada negara serikat adalah hal-hal yang berhubungan dengan
hubungan luar negeri, pertahanan negara, keuangan, dan urusan pos.
Selain dua bentuk negara di atas, seiring
perkembangan kenegaraan maka dikenal pula gabungan negara, yaitu sebagai
berikut
1.
Serikat negara (konfederasi) adalah suatu bentuk kerja sama
antara beberapa negara dalam menghadapi kepentingan dan keamanan masing-masing
negara.
2.
Koloni adalah suatu negara (daerah) yang dijajah oleh bangsa
(negara) lain.
3.
Trusteeship (perwakilan) adalah suatu negara yang sesudah PD II diurus oleh
beberapa negara di bawah pengawasan Dewan Perwalian PBB.
4.
Dominion adalah negara yang khususnya terdapat dalam lingkungan Kerajaan
Inggris (The British Commowealth of Nation).
5.
Uni (Union) adalah dua negara atau beberapa negara
merdeka dan berdaulat penuh memiliki seorang kepala negara yang sama.
Ada dua macam uni,
yaitu uni riel dan uni personil.
o
Uni riel, yaitu apabila negara yang tergabung itu dalam dalam
mengatur kepentingan bersama diselenggarakan oleh suatu badan (lembaga) yang
dibentuk oleh mereka.
o
Uni personil adalah apabila negara-negara yang bergabung itu
dalam mengurus kepentingannya diselenggarakan secara sendiri walaupun secara
kebetulan memiliki kepala negara yang sama.
Bentuk-bentuk negara seperti di atas, jika dilihat dari sisi
jumlah orang yang memerintah dalam sebuah negara maka seorang filosof klasik
yang terkenal bernama Aristoteles, membagi negara menurut bentuk
pemerintahannya sebagai berikut.
1.
Monarchi, pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak ditangan satu
orang. (Mono= satu, Orchein = pemerintah) .
2.
Oligarchi, pemerintah negara terletak dalam tangan beberapa orang
(biasanya dari kalangan feodal, golongan yang berkuasa).
3.
Demokrasi, pemerintah tertinggi negara terletak di tangan
rakyat. (demos=rakyat; kratosl cratein = pemerintah).
BENTUK
PEMERINTAHAN KLASIK
Teori-teori tentang bentuk pemerintahan
klasik pada umumnya masih menggabungkan bentuk negara dan bentuk pemerintahan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Mac Iver dan Leon Duguit yang menyetakan bahwa
bentuk negara sama dengan bentuk pemerintahan. Prof. Padmo Wahyono, SH juga
berpendapat bahwa bentuk negara aristokrasi dan demokrasi adalah bentuk
pemerintahan klasik, sedangkan monarki dan republik adalah bentuk pemerintahan
modern.
Dalam teori klasik pemerintahan dapat
dibedakan atas jumlah orang yang memerintah dan sifat pemerintahannya.
·
Ajaran plato (249 – 347 SM)
Plato
mengemukakan lima bentuk pemerintahan negara. Kelima bentuk itu menurut Plato
harus sesuai dengan sifat – sifat tertentu manusia. Adapun kelima bentuk itu
sebagai berikut.
1. Aristrokrasi,
yaitu bentuk pemerintahan yang dipengang oleh kaum cendikiawan yang
dilaksanakan sesuai dengan pikiran keadilan,
2. Timokrasi,
yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh orang – orang yang ingin mencapai
kemashuran dan kehormatan,
3. Oligarki,
yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh golongan hartawan,
4. Demokrasi,
yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat jelata,
5. Tirani,
yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seorang tirani (sewenang – wenang)
sehingga jauh dari cita – cita keadilan.
·
Ajaran Aristoteles (384 – 322 SM)
Aristoteles
membedakan bentuk pemerintahan berdasarkan dua kriteria pokok, yaitu jumlah
orang memegang pucuk pemerintahan dan kualitas pemerintahannya. Berdasarkan dua
kriteria tersebut, perbedaan bentuk pemerintahan adalah sebagai berikut.
1.
Monarki, yaitu bentuk pemerintahan yang
dibentuk oleh satu orang demi kepentigan umum, sifat pemerintahan ini baik dan
ideal.
2.
Tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang
dibentuk oleh saru orang demi kepentingan pribadi, bentuk pemerintahan ini
buruk dan kemerosotan.
3.
Aristokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang
dipegang oleh sekelompok cendikiawan demi kepentingan kelompoknya. Bentuk
pemerintahan ini merupakan pemerosotan dan buruk.
4.
Politea, yaitu bentuk pemerintahan yang
dianggap oleh seluruh rakyat demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini
baik dan ideal.
5.
Demokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang
oleh orang-orang tertentu demi kepentingan sebagina orang. Bentuk pemerintahan ini
kurang baik dan merupakan pemerosotan.
·
Ajaran polybios (204 – 122 M)
Ajaran
polybios yang dikenal dengan teori Siklus, sebenarnya merupakan pengembangan
lebih lanjut dari Aristoteles dengan sedikit perubahan, yaitu dengan mengganti
bentuk pemerintahan ideal politea dan demokrasi.
Monarki
adalah bentuk pemerintahan yang pada mulanya mendirikan kekuasaan atas nama
rakyat dengan baik dan dapat dipercaya. Namun pada perkembangannya, para
penguasa dalam hal ini adalah raja tidak lagi menjalankan pemerintahan untuk
kepentingan umum, bahkan cenderung sewenang – wenang dan menindas rakyat.
Bentuk pemerintahan monarki bergeser menjadi tirani.
Dalam
situasi pemerintahan tirani yang sewenang – wenang, mumcullah kaum bengsawan
yang bersekongkol untuk melawan. Mereka bersatu untuk mengadakan pemberontakan
sehingga kekuasaan beralih kepada mereka. Pemerintahan selanjutnya dipegang
oleh beberapa orang dan memperhatikan kepentingan umum. Pemerintahan pun
berubah dari tirani menjadi aristokrasi.
Aristokrasi
yang semula baik dan memperhatikan kepentingan umum, pada perkembangan tidak
lagi menjalankan keadilan dan hanya mementingkan diri sendiri. Keadaan itu
mengakibatkan pemerintahan Aristokrasi bergeser ke Oligarki.
Dalam
pemerinyahan Oligarki yang tidak memiliki keadilan rakyat mengambil alih
kekuasaan untuk memperbaiki nasib lewat pemberontakan. Rakyat menjalankan
kekuasaan negara demi kepentingan rakyat. Akibatnya, pemerintahan bergeser
menjadi demokrasi. Namun, pemerintahan demokrasi yang awalnya baik lama
kelamaan banyak diwarnai kekacauan, kebobrokan, dan korupsi sehingga hukum
sulit ditegakkan. Akibatnya pemerintahan berubah menjadi okhlokrasi. Dari
pemerintahan okhlokrasi ini kemudian muncul seorang yang kuat dan berani yang
dengan kekerasan dapat memegang pemeritahan. Dengan demikian, pemerintahan
dipengang oleh satu tangan lagi dalam bentuk monarki.
Perjalanan
siklus pemerintahan diatas memperlihatkan kepada kita adanya hubungan kausal
(sebab – sebab) antara bentuk pemerintahan yang satu dengan yang lain. Itulah
sebabnya polybios beranggapan bahwa lahirnya pemerintahan yang satu dengan yang
lain merupakan akibat dari pemerintahan yang sebelumnya telah ada.
BENTUK
PEMERINTAHAN MONARKI (KERAJAAN)
Leon Duguit dalam bukunya Traite
de Droit Constitutional membedakan pemerintahan dalam bentuk monarki
dan republik. Perbedaan antara bentuk pemerintahan “monarki” dan “republik”
menurut Leon Duguit, adalah ada pada kepala negaranya. Jika ditunjuk
berdasarkan hak turun – temurun, maka kita berhadapan dengan Monarki. Kalau
kepala negaranya ditunjuk tidak berdasarkan turun – temurun tetapi dipilih,
maka kita berhadapan dengan Republik.
Dalam praktik – praktik ketatanegaraan,
bentuk pemerintahan monarki dan republik dapat dibedakan atas:
·
Monarki absolut
Monarki
absolut adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh
seorang (raja, ratu,, syah, atau kaisar) yang kekuasaan dan wewenangnya tidak
terbatas. Perintah raja merupakan wewenang yang hrus dipatuhi oleh rakyatnya.
Pada diri raja terdapat kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang
menyatu dalam ucapan dan perbuatannya. Contoh Perancis semasa Louis XIV
dengan semboyannya yang terkenal L’etat C’est Moi (negara adalah saya).
·
Monarki konstitusional
Monarki
konstitusional adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai
oleh seorang raja yang kekuasaannya dibatasi undang – undang dasar
(konstitusi). Proses monarki kontitusional adalah sebagai berikut:
1. Ada
kalanya proses monarki konstitusional itu datang dari raja itu sendiri karena
takut dikudeta. Contohnya: negara Jepang dengan hak octroon.
2. Ada
kalanya proses monarki konstitusional itu terjadi karena adanya revolusi rakyat
terhadap raja. Contohnya: inggris yang melahirkan Bill of Rights I tahun 1689,
Yordania, Denmark, Aarab Saudi, Brunei Darussalam
·
Monarki parlementer
Monarki
parlementer adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh
seorang raja dengan menempatkan parlemen (DPR) sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Dalam monarki parlementer, kekuasaan, eksekutif dipegang oleh
kabinet (perdanan menteri) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Fungsi raja
hanya sebagain kepala negara (simbol kekeuasaan) yang kedudukannya ridak dapat
diganggu gugat. Bentuk monarki parlementer sampai sekarang masih tetap
dilaksanakan di negara Inggris, Belanda, dan Malaysia.
BENTUK
PEMERINTAHAN REPUBLIK
Dalam
pelaksaaan bentuk pemerintahan republik dapat dibedakan menjadi republik
absolut, republik kontitusional, dan republik parlementer.
·
Republik absolut
Dalam sistem republik absolut, pemerintahan
bersifat diktator tanpa ada pembatasan kekuasaan. Penguasa mengakibatkan
konstitusi dan untuk melegitimasi kekuasaannya digunakanlah partai politik.
Dalam pemerintahan ini, parlemen memang ada, namun tidak berfungsi.
·
Republik konstitusional
Dalam
sistem republik konstitusional, presiden memegang kekuasaan kepala negara dan
kepala pemerintahan. Namun, kekuasaan presiden dibatasi oleh konstitusi. Di
samping itu, pengawasan yang efektif dilakukan oleh parlemen.
·
Republik parlementer
Dalam
sistem republik palementer, presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara.
Namun, presiden tidak dapat diganggu – gutat. Sedangkan kepala pemerintah
berada di tangan perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam
sistem ini, kekuasaan legislatif lebih tinggi dari pada kekuasaan eksekutif
TEORI SISTEM
PEMERINTAHAN
Pengertian Sistem
Pemerintahan
Definisi sistem
pemerintahan dapat ditentukan dengan melihat arti atau definisi dari dua kata
yang membentuknya, yaitu “sistem” dan “pemerintahan”. Menurut Carl J.
Friederich, yang dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, sistem adalah
“…suatu
keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsionil
terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan
antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan
baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu”.
Sedangkan kata
pemerintahan, berasal dari kata pemerintah yang mendapatkan akhiran –an.
Menurut C.F. Strong:
“Pemerintah
adalah “suatu organisasi yang diberi….hak untuk melaksanakan kekuasaan
kedaulatan. Dalam pengertian yang lebih luas, pemerintah adalah sesuatu yang
lebih besar daripada badan menteri-menteri, suatu pengertian yang sering
dipergunakan di masa sekarang ketika mengacu pada kabinet yang ada di Inggris
sebagai contoh pemerintah masa kini. Oleh karena itu, negara harus memiliki:
pertama, kekuatan militer atau kendali atas angkatan bersenjata; kedua,
kekuasaan legislatif atau perangkat pembuat hukum atau undang-undang; ketiga,
keuasaan finansial atau kemampuan untuk menggalang dana yang cukup dari
masyarakat untuk membiayai pertahanan negara dan penegakkan hukum yang dibuat
atas nama negara. Secara singkat, negara harus memiliki kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, yang disebut sebagai tiga kekuasaan dalam
pemerintahan.
Menurut
pendapat Strong, pemerintah yang merupakan organisasi pelaksana
kedaulatan, dapat dilihat dalam arti luas dan sempit. Pemerintah dalam arti
sempit, hanya menunjuk pada kekuasaan eksekutif (misalnya Kabinet di Inggris),
sedangkan pemerintah dalam arti luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Akan tetapi, terdapat pula negara-negara yang tidak hanya
memilki tiga cabang kekuasaan seperti di atas, misalnya Indonesia. Dalam hal ini Sri Soemantri berpendapat bahwa
“pengertian ini (pemerintah dalam arti luas menurut C.F. Strong) didasarkan
pada ajaran tripraja Montesquieu. Arti yang luas dari pada government
(pemerintah) akan lain apabila dilihat dari pandangan caturpraja dan pancapraja”.
Selanjutnya Sri Soemantri
mengatakan bahwa:
“Apa
yang dimaksud dengan pemerintah dalam arti yang luas tidak akan sama antara
negara yang satu dengan yang lain. Demikian pula dengan pemerintah dalam arti
sempit.
Dengan
demikian apa yang dimaksud dengan pemerintah dalam arti yang luas tergantung
dari sistem atau ajaran yang dianut oleh sesuatu negara”.
Pendapat di atas,
tampaknya dilatarbelakangi oleh kritik Sri Soemantri terhadap definisi
pemerintah menurut Strong yang menganut paham trias poltika-nya Montesquieu.
Pada akhirnya, Sri Soemantri mendefinisikan sistem pemerintahan sebagai
berikut:
“Bagi
negara atau negara-negara yang menganut ajaran tripraja, maka sistem
pemerintahan berarti suatu perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ
legislatif, eksekutif, dan yudisiil (yudikatif) yang dengan bekerja
bersama-sama hendak mencapai suatu maksud atau tujuan”.
Selanjutnya, Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim berpendapat bahwa:
“Pemerintahan
dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara yang dilakukan
untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri;
jadi tidak tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas
eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif
dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan
bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang
menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan
kepentingan rakyat
Ketiga pendapat di atas
memiliki kesamaan dalam memandang dan memaknai pemerintah yang tidak hanya
kekuasaan eksekutif saja, melainkan juga kekuasaan-kekuasaan lain. Akan tetapi,
terdapat perbedaan dalam memaknai pembagian kekuasaan. Sementara C.F. Strong,
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mendefinsikan pemerintah berdasarkan
ajaran trias politika-nya Montesquieu, tetapi Sri Soemantri, menganggap
bahwa pemaknaan mengenai pemerintah baik dalam arti luas atau sempit,
bergantung pada ajaran yang dianut sebuah negara, yang tidak hanya berupa trias
politika Montesquieu.
Jadi berdasarkan ketiga
pendapat di atas, sistem pemerintahan adalah keseluruhan pengaturan kekuasaan
negara untuk melaksanakan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh lembaga-lembaga
negara berdasarkan pembagian kekuasaan sesuai ajaran yang dianutnya (Tripraja,
caturpraja, pancapraja) dalam mencapai tujuan negara.
Secara umum, sistem
pemerintahan yang ada di dunia terbagi menjadi 2, yaitu sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi, menurut Sri
Soemantri terdapat juga sistem pemerintahan campuran atau kombinasi, yaitu
suatu sistem pemerintahan di mana di dalamnya kita jumpai adanya baik segi
parlementer maupun segi presidensiilnya.
1. Sistem Pemerintahan Parlementer
Menurut Alan R. Ball
yang dikutip oleh Sri Soemantri, ciri-ciri sistem pemerintahan
parlementer adalah sebagai berikut:
1. There is a nominal head of state whose functions are
chiefly formal and ceremonial and whose political infulence is small. This head
of state may be a monarch, as in the United Kingdom, Japan or Australia, or a
president ini West Germany, India or Italy.
2. The political executive, the prime minister, the
chancellor, etc, together with the cabinet, is part of legislature, and can be
removed by the legislature if the legislature withdraws it support.
3. The legislature is elected in varying period by the
electorate, the election date being chosen by the formal head of state on the
advice of the prime minister or chancellor.
Dari
pendapat di atas, dapat diketahui bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer,
kepala negara (raja, presiden atau dengan sebutan lain) hanya memilki kekuasaan
secara formal dan seremonial saja sehingga pengaruh politiknya sangat kecil.
Dalam sistem ini, eksekutif yang sesungguhnya dipegang oleh perdana menteri
beserta para menteri (kabinet) yang merupakan bagian dari legislatif. Akan
tetapi, Alan R. Ball tidak mengatakan secara eksplisit bahwa Perdana Menteri
dan kabinet bertanggung jawab kepada Parlemen karena kedudukannya yang berasal
dari legislatif. Perdana menteri beserta para menterinya dapat diberhentikan
oleh legislatif jika legislatif menarik dukungannya. Dalam sistem ini pula,
legislatif dipilih dalam periode yang beragam. Tanggal pemilihannya ditentukan
oleh kepala negara dengan mempertimbangkan nasehat perdana menteri.
Sedangkan
menurut C.F. Strong, mengutip pendapat H.D. Trail tentang kabinet dalam
sistem parlementer, yang mengatakan bahwa:
“…Konsepsi politik Kabinet sebagai sebuah badan yang
terdiri dari:
1.
Anggota
legislatif.
2.
Partai
politik yang berpandangan sama dan dipilih dari partai yang memegang mayoritas
dalam House of Commons.
3.
Melaksanakan
kebijakan bersama-sama dan terpusat (dituntut adanya politik yang berencana).
4.
Berada
di bawah pertanggungjawaban bersama yang ditandai pengundurun diri secara
kolektif apabila terjadi kecaman dari parlemen.
Pendapat
di atas merupakan hasil pengamatan H.D. Trail di negaranya (Inggris)
yang merupakan negara pertama yang menerapkan sistem ini. Dalam hal ini Sri
Soemantri berpendapat bahwa:
“Walaupun
ciri-ciri (sistem pemerintahan parlementer) seperti diungkapkan H.D. Trail
tersebut berdasarkan penglihatan yang berlaku di negaranya, akan tetapi apa
yang dikemukakan di atas merupakan karakteristik yang hakiki daripada sistem
pemerintahan parlementer”.
Berdasarkan
pendapat kedua pendapat di atas, Sri Soemantri menyimpulkan bahwa sistem
pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Kabinet
yang dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh atau berdasarkan kekuatan atau
kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.
2.
Para
anggota kabinet mungkin seluruhnya anggota parlemen, mungkin pula tidak
seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan anggota parlemen.
3.
Kabinet
dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen. Apabila kabinet atau seorang
atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi tidak percaya dari parlemen, maka
kabinet atau seorang atau beberapa orang daripadanya harus mengundurkan
dirinya.
4.
Sebagai
imbangan dapat dijatuhkannya kabinet, maka Kepala Negara (Presiden atau Raja/
Ratu) dengan saran atau nasehat Perdana Menteri dapat membubarkan Parlemen.
Oleh karena itu menurut Alan R. Ball, “the legislature is elected for
varying periods”.
Dalam
pendapatnya, Sri Soemantri yang mendasarkan pendapatnya dari Alan R.
Ball dan H.D.Trail, tidak mencantumkan beberapa ciri-ciri yang dikemukakan dua
sarjana sebelumnya. Seperti ciri yang diungkapkan oleh Alan R. Ball, bahwa
Kepala Negara hanya memegang kekuasaan formal dan seremonial. Padahal ciri ini
cukup penting, karena justru sistem pemerintahan parlementer saja yang
membedakan fungsi eksekutif sesungguhnya (Kepala Pemerintahan) dan eksekutif
formal (Kepala Negara). Sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan ketika
mengomentari kedudukan Presiden Indonesia sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensial bahwa: “Dua pengertian
terakhir ini (Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan), sebetulnya adalah
pengertian yang bersifat analisis keilmuan dan hanya tampak pada sistem
parlementer”. Selain itu, walaupun Kepala Negara
memilki pengaruh yang kecil dalam kehidupan politik, tetapi dalam hal tertentu
Kepala Negara dapat berpengaruh dan sangat menentukan, seperti dalam hal
terjadi mosi tidak percaya dari kabinet untuk membubarkan parlemen, Kepala
Negaralah yang berhak menentukan pembubaran parlemen atau tidak dengan
pertimbangan nasehat dari Perdana Menteri. Dengan demikian ciri ini merupakan
ciri yang perlu ditegaskan dalam sistem pemerintahan parlementer.
Sedangkan
fungsi yang diungkapkan H.D. Trail yaitu melaksanakan kebijakan secara
bersama-sama dan terpusat (dituntut adanya politik yang berencana) memang tidak
menjadi ciri yang melekat hanya pada sistem pemerintahan parlementer saja
tetapi juga sistem pemerintahan presidensial atau campuran. Sehingga ciri tersebut
tidak perlu dicantumkan.
Selanjutnya,
ciri yang diungkapkan oleh H.D. Trail bahwa anggota kabinet berasal dari partai
politik yang berpandangan sama, dapat dipersamakan dengan ciri bahwa anggota
kabinet adalah bagian dari legislatif (pendapat Alan R. Ball). Ciri ini sudah
tersirat dalam ciri pertama yang dikemukakan Sri Soemantri.
Terhadap
pendapat H.D. Trail yang pertama bahwa kabinet terdiri dari anggota legislatif,
Sri Soemantri menambahkan bahwa anggota kabinet mungkin seluruhnya anggota
parlemen, mungkin pula tidak seluruhnya dan mungkin pula seluruhnya bukan
anggota parlemen . Akan tetapi menurut penulis, ciri ini sudah tersirat pada
ciri yang diungkapkan Alan R. Ball bahwa kabinet adalah bagian dari legislatif
serta ciri pertama yang diungkapkan Sri Soemantri bahwa kabinet yang
dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh atau berdasarkan kekuatan atau
kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen. Artinya berdasarkan sistem
pemerintahan parlementer yang ada di dunia, anggota kabinet tidak harus semuanya
atau sebagian berasal dari anggota legislatif, karena ada negara yang seluruh
anggota kabinetnya bukan anggota legislatif, seperti dikatakan oleh Sri
Soemantri bahwa ada yang anggota-anggota kabinetnya seluruhnya tidak berasal
dari parlemen dan ada pula yang hanya sebagian saja yang harus anggota
parlemen”. Sehingga ciri tersebut tidak menjadi ciri
yang utama dari sistem pemerintahan parlementer melainkan hanya bersifat
turunan. Selanjutnya ciri ketiga yang diungkapkan Sri Soemantri, menegaskan
bahwa pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen tidak hanya bersifat kolektif
tetapi juga bersifat individual. Ciri inilah yang membedakan pendapat Sri
Soemantri dengan H.D. Trail yang hanya menekankan pertanggungjawaban kolektif
saja. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa ciri sistem pemrintahan parlementer
adalah:
1.
Dalam
sistem pemerintahan parlementer, kepala negara (raja, presiden atau dengan
sebutan lain) hanya memilki kekuasaan secara formal dan seremonial saja
sehingga pengaruh politiknya sangat kecil.
2.
Ketua
kabinet (perdana menteri, kanselir atau sebutan lainnya) bersama dengan
kabinetnya, sebagai eksekutif sesungguhnya, merupakan bagian dari parlemen dan
dibentuk oleh atau berdasarkan kekuatan atau kekuatan-kekuatan yang menguasai
parlemen.
3.
Kabinet
dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen.
4.
Apabila
kabinet atau seorang atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi tidak percaya
dari parlemen, maka kabinet atau seorang atau beberapa orang daripadanya harus
mengundurkan dirinya. Sebaliknya Kepala Negara (Presiden atau Raja/ Ratu)
dengan saran atau nasehat Perdana Menteri dapat membubarkan Parlemen.
2. Sistem Pemerintahan Presidensial
Jika dalam sistem
pemerintahan parlementer, kedudukan kabinet sangat bergantung dengan dukungan
parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial kedudukan Presiden tidak
dipengaruhi oleh dukungan parlemen atau badan perwakilan. Dalam sistem ini, pemilihan
eksekutif dilakukan oleh rakyat baik secara langsung atau melalui badan pemilih
(electoral college) seperti di Amerika Serikat. Seperti yang dikemukan
oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa dalam tipe ini (sistem
pemerintahan presidensial), kedudukan eksekutif tidak bergantung pada badan
perwakilan rakyat. Adapun dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan
kepada pemilihan rakyat.
Seperti dalam
mendefinisikan sistem pemerintahan parlementer, para sarjana juga mendefinsikan
sistem pemerintahan presidensial berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada sistem
pemerintahan tersebut. Alan R. Ball mengungkapkan bahwa ciri-ciri utama dari
sistem pemerintahan presidensial ialah sebagai berikut:
1. The president is both nominal and political head of
state;
2. The president elected not by the legislature, but
directly by the total electorate (the Electoral College ini United State is a
formality, and is likely disappear in the near future). The president is not
part of the legislature, and he can not be removed from office by the
legislature except through rare legal impeachments.
3. The president cannot dissolve the legislature and call
a general election. Usually the president and the legislature are elected for
fixed terms.
Pendapat
di atas menyebutkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden
adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Selanjutnya diketahui bahwa
presiden tidak dipilih oleh legislatif, seperti dalam pemerintahan parlementer,
tetapi dipilih oleh para pemilih secara langsung atau oleh electoral college
(badan pemilih) seperti di Amerika Serikat. Sehingga dapat dikatakan bahwa
presiden bukan bagian dari legislatif. Kedudukan presiden seperti dikemukakan
di atas, menyebabkan presiden tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan dari
jabatannya oleh legislatif. Begitu pula sebaliknya, presiden pun tidak dapat
membubarkan legislatif. Biasanya presiden dan legislatif dipilih untuk jangka
waktu yang tetap. Sehubungan dengan masa jabatan presiden yang tetap, C.F.
Strong menyebutnya fixed executive. Menurut Strong, “…eksekutif dalam
pengertian ini tidak dapat dipengaruhi oleh tindakan lembaga legislatif.
Usep
Ranawijaya menyebutkan ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial (beliau
menyebutnya dengan istilah sistem kepresidenan) dengan mengambil ciri-ciri dari
sistem pemerintahan Amerika Serikat sebagai prototipe, sebagai berikut:
1.
Kepala
negara adalah kepala pemerintahan. Ia dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka
4 tahun.
2.
Para
menteri mempunyai kedudukan sebagai pembantu presiden, diangkat oleh presiden
dan bertanggung jawab semata-mata kepada presiden.
3.
Kongres
dan presiden mempunyai wewenang masing-masing yang dijalankan secara
sendiri-sendiri sebagai kekuasaan perundang-undangan dan kekuasaan eksekutif
menurut pola Montesquieu.
4.
Antara
badan eksekutif dan badan perwakilan, tidak ada garis pertanggungjawaban
politik. Badan perwakilan tidak dapat mengajukan mosi tidak percaya untuk
menjatuhkan presiden atau menteri.
5.
Sebagai
penegak hukum, pelindung kemerdekaan rakyat dan pencegah kesewenang-wenangan
penguasa terdapat Mahkamah Agung yang terdiri atas sembilan hakim dan diangkat
untuk seumur hidup.
Sebenarnya
pendapat di atas hampir sama dengan pendapat Alan R. Ball mengenai ciri-ciri
sistem pemerintahan presidensial. Perbedaannya yaitu, pendapat kedua dari Usep
Ranawijaya yang menambahkan bahwa pertanggungjawaban menteri-menteri
hanya kepada presiden saja karena diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Menurut penulis, pemikiran Usep Ranawijaya merupakan salah satu ciri utama yang
membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer. Karena dalam
sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutifnya bersifat tunggal (single
executive) bukan bersifat collegial (kolektif). Seperti diungkapkan
oleh Bagir Manan, bahwa:
“Lembaga
Kepresidenan sebagai penyelenggara sistem pemerintahan kepresidenan bersifat
tunggal (single executive). Wakil Presiden dan Menteri adalah pembantu
Presiden. Dengan perkataan lain, hubungan antara Presiden dengan Wakil Presiden
dan Menteri tidak bersifat collegial”.
Sementara dalam sistem
pemerintahan parlementer, perdana menteri dengan kabinetnya memiliki hubungan
yang bersifat collegial di mana menteri-menteri kabinet (termasuk
perdana menteri) bertanggung jawab kepada parlemen. Walaupun telah ditegaskan
sebelumnya bahwa menteri-menteri berada di bawah subordinasi perdana menteri,
hal itu hanya karena beban perdana menteri lebih besar daripada
menteri-menteri. Hal ini terlihat misalnya di Inggris yang menganut sistem dua
partai di mana perdana menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan
pemilu. Seperti yang diungkapkan oleh Sri Soemantri mengenai hal di atas di
Inggris bahwa “Sebagai ketua partai politik yang juga menduduki kursi perdana
menteri tanggung jawabnya adalah lebih besar, malah lebih besar dari pada
anggota kabinetnya”.
Mengenai pendapat ketiga
dari Usep Ranawijaya, menurut penulis pendapat tersebut tidak menjadi ciri utama
dari sistem pemerintahan presidensial. Karena ciri tersebut merupakan implikasi
dari kedudukan presiden yang bukan merupakan bagian dari legislatif. Sehingga
dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kedua lembaga tersebut melakukannya
secara terpisah. Ciri keempat yang diungkapkan Usep Ranawijaya sama dengan ciri
kedua dan ketiga dari pendapat Alan R. Ball. Sedangkan ciri kelima,
mengenai kekuasaan kehakiman yang independen, tidak hanya menjadi ciri bagi
sistem pemerintahan presidensial tetapi juga sistem pemerintahan parlementer.
Sehingga berdasarkan
uraian di atas, ciri-ciri utama sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai
berikut:
1.
Presiden
adalah kepala pemerintahan dan sekaligus memiliki kewenangan yang biasanya
melekat pada kepala negara dalam sistem pemerintahan parlementer. Karena
menurut Bagir Manan, “ Dua pengertian terakhir ini (Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan), sebetulnya adalah pengertian yang bersifat analisis keilmuan dan
hanya tampak pada sistem parlementer”.
2.
Presiden
tidak dipilih oleh legislatif, seperti dalam pemerintahan parlementer, tetapi
dipilih oleh para pemilih secara langsung atau oleh electoral college
(badan pemilih) seperti di Amerika Serikat.
3.
Presiden
bukan bagian dari legislatif sehingga presiden tidak dapat dijatuhkan atau
diberhentikan dari jabatannya oleh legislatif. Begitu pula sebaliknya, presiden
pun tidak dapat membubarkan legislatif.
4.
Presiden
dan legislatif dipilih untuk jangka waktu yang tetap. Sehingga Strong
menyebutnya fixed executive.
5.
Para
menteri mempunyai kedudukan sebagai pembantu presiden, diangkat oleh presiden
dan bertanggung jawab semata-mata kepada presiden. Model eksekutif seperti ini
disebut single executive (eksekutif tunggal).
3. Sistem Pemerintahan Campuran
Selain dua tipe sistem
pemerintahan di atas, terdapat model sistem pemerintahan yang memiliki baik
segi-segi sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial. Di kalangan para
sarjana, ada yang memberikan istilah baru terhadap sistem pemerintahan ini, ada
juga yang yang tidak. Sri Soemantri memberikan istilah sistem pemerintahan
campuran atau kombinasi bagi sistem pemerintahan tersebut.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyebut sistem pemerintahan ini sebagai
quasi parlementer atau quasi presidensiil (presidensial)
sedangkan Usep Ranawijaya menyebutnya dengan istilah bentuk antara atau bentuk
peralihan. Sementara C.F. Strong tidak
memberikan istilah khusus bagi sistem pemerintahan tersebut tetapi mengakui
sistem-sistem pemerintahan tersebut, misalnya sistem semipresidensial pada
Republik Kelima Perancis dan eksekutif parlementer
(parlementarian executive) tetapi pada pelaksanaannya bersifat eksekutif tetap
dan nonparlementer pada Swis.
Penulis menggunakan
istilah sistem pemerintahan campuran sesuai pendapat Sri Soemantri dengan
pertimbangan untuk mempermudah pembahasan karakteristik sistem pemerintahan
tersebut. Karena pada dasarnya, sistem pemerintahan campuran tidak dapat
dikelompokkan ke dalam dua sistem pemerintahan pada umumnya. Akan tetapi sistem
campuran tetap memperilihatkan ciri-ciri dari kedua sistem pemerintahan
(parlementer dan presidensial) dengan tingkat dominasi yang berbeda-beda.
Artinya sistem pemerintahan campuran pada sebuah negara memiliki substansi yang
berbeda dengan sistem pemerintahan campuran di negara lain. Menurut Bagir Manan
sehubungan dengan sistem pemerintahan campuran, bahwa “persamaannya
hanya pada bentuk campuran, sedangkan substansinya sama sekali berbeda”. Selanjutnya terhadap perbedaan-perbedaan antar sistem
pemerintahan campuran Bagir Manan berpendapat bahwa:
“….(i)
Bentuk-bentuk sistem campuran berbeda-beda antara negara yang satu dengan
negara yang lain; (ii) Bentuk campuran dapat menunjukkan ciri-ciri presdensiil
(presidensial) atau ciri-ciri parlementer yang lebih menonjol…..”
Negara-negara yang
biasanya menjadi prototipe sistem pemerintahan campuran, yaitu Perancis (dengan
Konstitusi 1958 dan Amendemen 1962) dan Swis. Perancis sejak tahun 1958
(disebut juga masa Republik Kelima) memiliki model sistem pemerintahan yang
disebut semipresidensial. Sebelumnya Perancis
menerapkan sistem pemerintahan parlementer dan peralihan pada sistem
semipresidensial, tidak menghapus ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer.
Seperti dikatakan oleh C.F. Strong, bahwa:
“….Perancis
di bawah pemerintahan Republik Kelima mempertahankan sistem eksekutif
parlementer, namun dengan beberapa variasi pada jenis eksekutif terdahulu. Pertama,
seperti yang telah dikatakan, Presiden tidak lagi dipilih oleh Parlemen saja,
melainkan oleh Electoral College yang terdiri dari anggota-anggota
Parlemen beserta anggota-anggota dewan lainnya. Kedua, walaupun para
menteri bertanggung jawab kepada Parlemen, para menteri tidak diizinkan menjadi
anggota salah satu majelis Parlemen…..Ketiga, Presiden menjadi Kepala
Eksekutif yang aktif dengan kekuasaan penuh untuk mengontrol badan legislatif
termasuk hak untuk membubarkan Parlemen…..Hal ini berarti, apabila terjadi mosi
tidak percaya dalam Parlemen yang menentang pemerintah, Presiden dapat
membubarkan Majelis dan mengadakan pemilihan baru. Terakhir, konstitusi
memberikan mandat kepada Presiden untuk mengambil tindakan darurat jika terjadi
ancaman “terhadap institusi republik, kemerdekaan bangsa, integritas wilayah,
serta pelaksanaan kewajiban luar negeri negara”
Kedudukan Presiden
Perancis semakin lebih kuat dengan diadakannya referendum yang mengamandemen
konstitusi Perancis pada tahun 1962 yang mengubah tata cara pemilihan Presiden
yang semula dipilih oleh Electoral College menjadi dipilih melalui hak
pilih universal (secara langsung oleh rakyat). Menurut
pendapat di atas, terdapat beberapa ciri dalam sistem pemerintahan Perancis
sejak 1962, yaitu:
2.
Menteri-menteri
bertanggung jawab kepada Parlemen tetapi tidak diizinkan menjadi anggota
Parlemen (segi parlementer).
3.
Presiden
menjadi eksekutif sesungguhnya selain Kabinet (dual executive), bahkan
lebih besar pengaruhnya, misalnya Presiden dapat membubarkan Parlemen jika
bertentangan dengan Pemerintah.
4.
Presiden
memegang kekuasan untuk mengendalikan keadaan darurat dalam masalah-masalah
tertentu (segi presidensial).
Selain
itu ada ciri-ciri lain yang tidak dikemukakan pendapat sebelumnya, yaitu
Perdana Menteri dan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, walaupun pertanggungjawaban Dewan Menteri tetap kepada
Parlemen. Sehubungan dengan pertanggungjawaban Dewan Menteri (Kabinet), Usep
Ranawijaya mengatakan, bahwa:
“Kabinet
bertanggung jawab kepada Parlemen mengenai segala urusan pemerintahan yang
tidak termasuk wewenangnya Presiden; dan para menteri mengundurkan diri dalam
hal terjadi mosi tidak percaya dari pihak Parlemen”.
Artinya, dari dua jenis
eksekutif (Presiden dan Kabinet), hanya Kabinet saja yang dapat dijatuhkan oleh
Parlemen, sementara Presiden tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir. Hal ini mencerminkan ciri fixed executive pada Presiden
Perancis, seperti pada sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu
penamaan semipresidensial pada sistem campuran ini sangatlah tepat karena
sistem ini memiliki segi-segi parlementer maupun presidensial dengan ciri-ciri
sistem presidensial yang lebih dominan, terutama berdasarkan kedudukan Presiden
serta kekuasaan Presiden.
Negara kedua yang
menjadi prototipe sistem pemerintahan campuran adalah Swis. Jika dalam sisitem
pemerintahan Perancis Republik Kelima terdapat dua macam eksekutif dengan tugas
dan wewenang yang berbeda, maka dalam sistem pemerintahan Swis eksekutif
dipegang oleh sebuah Dewan yang disebut Dewan Federal (Federal Council).
Sehubungan
dengan itu, C.F. Strong mengatakan, bahwa Lembaga eksekutif Swis atau
Dewan Federal (Federal Council) adalah suatu kementerian yang dipilih,
tetapi tidak dapat dibubarkan, oleh tiap-tiap Majelis Federal (Federal
Assembly). Sekilas sistem pemerintahan Swis
bersifat parlementer karena Dewan Federal yang dipilih oleh Majelis Federal
seperti Kabinet (Dewan Menteri) yang diangkat oleh Parlemen di Inggris. Akan
tetapi, kedudukan Dewan Federal yang tak dapat dibubarkan oleh Majelis Federal
selama masa jabatannya ( 4 tahun), lebih mencerminkan sifat fixed executive
seperti dalam sistem presidensial di mana Presiden tidak bertanggung jawab
kepada Parlemen. Hanya saja eksekutif di Swis tidak bersifat tunggal (single
executive) seperti Presiden pada sistem presidensial murni, melainkan
bersifat collegial.
Ciri collegial
ini dipertegas dengan tidak adanya pemimpin tetap dalam Dewan Federal.
Walaupun terdapat jabatan Presiden Dewan Federal (Federal President)
yang dipilih setiap satu tahun sekali dari 7 orang anggota Dewan Federal,
tetapi jabatan itu tidak bersifat subordinasi terhadap anggota Dewan Federal
lainnya. Seperti dikatakan oleh C.F. Strong, bahwa
“Ketua
Dewan Federal inilah yang lazimnya dikenal sebagai presiden republik; tetapi
keutamaannya di atas pejabat yang lain adalah “keutamaan yang formal belaka:
ketua Dewan Federal sama sekali bukan kepala eksekutif”.
Selain itu, terdapat
pula jabatan Wakil Presiden Federal yang juga dipiih dari anggota Dewan Federal
untuk mendampingi Presiden Federal Seperti halnya Presiden Federal, Wakil
Presiden Federal juga tidak memiliki keutamaan yang substansial dibandingkan
anggota Dewan Federal lainnya. Sehubungan dengan itu Sri Soemantri mengatakan
bahwa:
“Presiden
dan Wakil Presiden Republik Konfederasi Swis juga dipilih oleh Federal
Assembly…….Adapun masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah satu
tahun. Orang yang menjadi Presiden tidak dapat dipilih kembali setelah masa
jabatannya berakhir. Hal ini tidak berlaku terhadap Wakil Presiden. Dengan
perkataan lain, Wakil Presiden dapat dipilih menjadi Presiden oleh Federal
Assembly, setelah jabatannya sebagai Wakil Presiden berakhir”
4. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945
Sejak meraih kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah menggunakan konstitusi yang
berbeda hingga sekarang, yaitu UUD 1945, UUDS 1959, Konstitusi RIS 1949 serta
UUD 1945 setelah perubahan. Seiring dengan penerapan konstitusi-konstitusi tersebut,
Indonesia juga menerapkan sistem-sistem pemerintahan yang berbeda-beda pula.
Bahkan berdasarkan satu konstitusi yang sama, yaitu UUD 1945, Indonesia pernah
menerapkan dua macam sistem pemerintahan tanpa mengubah teks asli UUD 1945,
yaitu pada tahun 1945 hingga tahun 1948 menerapkan sistem pemerintahan
parlementer dan pada tahun 1948 hingga 1949 menerapkan sistem pemerintahan
presidensial yang dipimpin oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Akan tetapi dalam
bagian ini hanya akan dibahas sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945
baik sebelum maupun setelah perubahan.
Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 sebelum perubahan mengatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar”. Selanjutnya dalam ayat (2)
dikatakan bahwa “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang
Wakil Presiden” dan pasal 17 ayat (1) yang mengatakan bahwa “Presiden dibantu
oleh menteri-menteri negara”. Dari tiga ayat tersebut tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Presiden merupakan eksekutif sesungguhnya yang bersifat
tunggal (single executive) yang dalam menjalankan kewajibannya tersebut
dibantu oleh seorang Wakil Presiden dan menteri-menteri. Kedudukan Wakil
Presiden dan menteri-menteri sangatlah berbeda. Wakil Presiden dipilih oleh MPR
sedangkan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (pasal
17 ayat (2)). Apa yang menjadi tugas dan wewenang Wakil Presiden ditentukan
oleh Presiden dengan dibantu oleh Wakil Presiden, seperti yang diatur dalam
pasal 8 ayat (2) Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan
Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/ Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara.
Tugas
Wakil Presiden di Indonesia berbeda dengan Wakil Presiden di Amerika Serikat.
dalam hal ini Sri Soemantri berpendapat bahwa :
“Seperti
telah kita ketahui selama Presiden Amerika Serikat masih ada, Wakil Presiden
mempunyai tugas menjadi Ketua Senat Amerika Serikat (buka anggota). Dengan
demikian di Amerika Serikat hanya terdapat satu pemimpin eksekutif saja. Hal
ini sesuai dengan azas dalam kepemimpinan, bahwa antara lain dalam sebuah kapal
hanya terdapat seorang kapten atau dalam sebuah keluarga hanya terdapat seorang
kepala keluarga saja”.
Kekuasaan
presiden diatur dalam UUD 1945 dalam porsi yang cukup besar, yaitu dalam pasal
5 ayat (1) dan (2), 10, 11, 12, 13, 14 dan 15. Dalam pasal 15 UUD 1945
dikatakan bahwa “Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda
kehormatan”. Wewenang ini merupakan wewenang yang biasanya melekat pada jabatan
Kepala Negara dalam sistem parlementer. Akan tetapi, karena Presiden Republik
Indonesia merupakan real executive, sekaligus memegang wewenang
kepala negara, maka hal ini menunjukkan ciri sistem pemerintahan presidensial.
Ciri lain yang juga mengindikasikan sistem pemerintahan presidensial yaitu
adanya pembatasan masa jabatan presiden (president tenure), yaitu dalam
pasal 7 UUD 1945 di mana “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pada masa
demokrasi terpimpin, pasal ini diselewengkan dengan mengangkat Ir. Soekarno
sebagai Presiden seumur hidup sedangkan pada masa Orde Baru, pasal ini
ditafsirkan tidak adanya pembatasan waktu jabatan Presiden sehingga Soeharto
dapat menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun.
Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia dipilih secara terpisah oleh MPR
berdasarkan pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Adanya eksekutif yang dipilih oleh
legislatif atau eksekutif yang merupakan bagian dari legislatif, merupakan ciri
dari sistem pemerintahan parlementer. Konsekuensi dipilihnya Presiden dan Wakil
Presiden oleh MPR, Presiden dapat diberhentikan jika benar-benar melanggar
haluan negara, tetapi Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggotanya
merangkap menjadi anggora MPR. Seperti yang disebutkan dalam Penjelasan UUD
1945 bahwa:
“Kedudukan
Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap
Presiden telah sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat
diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungjawaban
kepada Presiden ”
Jika dikaitkan
penjelasan UUD 1945 tersebut dengan masa jabatan Presiden, maka masa jabatan
Presiden di Indonesia dapat dikatakan tidak tetap karena presiden dapat
sewaktu-waktu diberhentikan oleh MPR jika sungguh-sungguh melanggar haluan
negara.
Kedudukan
DPR yang tidak dapat dibubarkan Presiden dan jabatan rangkap anggota DPR
sebagai anggota MPR serta dapat diberhentikannya Presiden jika melanggar haluan
negara merupakan ciri-ciri yang tidak dapat dijumpai baik dalam sistem
pemerintahan parlementer maupun presidensial.
Dalam
sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri dan kabinet dapat dijatuhkan
oleh parlemen jika parlemen menarik dukungannya terhadap eksekutif. Sebaliknya,
perdana menteri dapat membubarkan parlemen atas dukungan Kepala Negara seperti
di Inggris. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden tidak
dapat dijatuhkan kecuali lewat prosedur dakwaan tertentu seperti impeacment
di Amerika Serikat. Sebab-sebab impeacment tidak berkaitan dengan
kebijakan politik Presiden dalam menjalankan pemerintahan tetapi sebab-sebab
yang bersifat pidana seperti pengkhianatan negara, menerima suap, melakukan
kejahatan berat dan pelanggaran lainnya (treason, bribery, or other high
crimes and misdeameonors).
Sehubungan
dengan sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, Sri Soemantri
berpendapat bahwa:
“..Artinya
dari ciri-ciri yang telah diketahui, tidak dapat dikatakan bahwa sistem
pemerintahan presidensiil yang dominan atau juga tidak dapat dikatakan bahwa
sistem pemerintahan parlementer yang dominan. Malah dari ciri-ciri yang
dikemukakan di atas, perbandingan segi presidensiil dan segi parlementernya
50-50 (persen). Oleh karena demikian, kita dapat mengatakan bahwa sistem
pemerintahan yang dianut negara Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan
campuran atau kombinasi murni. Hal ini berbeda berbeda dengan sistem
pemerintahan yang berlaku di negara Swis yang menurut pendapat penulis menganut
juga sistem pemerintahan campuran atau kombinasi, akan tetapi di mana yang
dominan adalah segi presidensiilnya”
Pendapat di atas
menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum
perubahan adalah sistem pemerintahan campuran. Akan tetapi segi-segi
parlementer maupun presidensialnya tidak memilki tempat yang dominan satu sama
lain. Kedua-duanya menempati porsi yang hampir sama dalam sistem pemerintahan
Indonesia.
Setelah perubahan UUD
1945 yang dilakukan sebanyak 4 (empat) kali (termasuk dihapusnya Penjelasan UUD
1945), terdapat perubahan yang cukup berarti yang mempengaruhi sistem pemerintahan
di Indonesia. Dalam perubahan ketiga UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden
tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung secara
berpasangan oleh rakyat. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya
diatur dalam pasal 6 ayat (2) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
dipilih olah Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”, sekarang
diatur dalam pasal 6A yang berbunyi “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam
satu berpasangan secara langsung oleh rakyat”. Tentu saja perubahan ini juga
berimplikasi pada kewenangan MPR yang sebelumnya berwenang memilih Presiden dan
Wakil Presiden, kini tidak.
Dengan
adanya perubahan ini, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR dan MPR
tidak memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden apalagi
menjatuhkan Presiden. Apalagi perubahan ini diikuti dengan perubahan mengenai
pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya, seperti yang
disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945 setelah perubahan yaitu:
“Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”
Dari pasal di atas,
Presiden tidak dapat lagi diberhentikan dalam masa jabatannya akibat melanggar
haluan negara. Lagi pula, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang semula
ditetapkan oleh MPR kini tidak dikenal lagi keberadaannya dalam UUD 1945
setelah perubahan. Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika
telah melakukan pelanggaran hukum seperti di atas dengan prosedur tertentu.
Prosedur tersebut mengingatkan kita pada impeachment di Amerika Serikat.
Akan tetapi, pelanggaran hukum yang menjadi sebab diberhentikannya Presiden di
Amerika Serikat dan Indonesia agak berbeda. Di Amerika Serikat, tuntutan impeachment
yaitu jika Presiden melakukan korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya serta
pengkhianatan negara, sedangkan di Indonesia, selain korupsi, penyuapan,
kejahatan berat lainnya serta pengkhianatan terhadap negara, terdapat dua jenis
sebab lagi yang dapat dijadikan alasan pemberhentian Presiden dan Wakil
Presiden, yaitu perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Dipilihnya Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat serta kedudukan Presiden yang tidak
dapat dijatuhkan oleh MPR kecuali seperti diatur dalam pasal 7A, menghilangkan
segi-segi parlementer dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Seperti yang dikatakan
oleh Bagir Manan bahwa:
“….sistem
(pemerintahan) Indonesia secara hakiki adalah sistem presidensiil bukan
dimaksudkan sebagai suatu bentuk campuran. Karena di masa depan Presiden di
satu pihak dipilih langsung, dan di pihak lain tidak bertanggung jawab kepada
MPR, maka sistem presidensil menjadi lebih murni (tidak ada lagi unsur
campuran)”.
Artinya setelah
perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia merupakan sistem pemerintahan
presidensial, karena tidak ada lagi ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer
yang melekat.
Komentar
Posting Komentar